Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PELITAKU
Tercuriga Flu Burung
Oleh LIE CHARLIE
Kita bisa menduga-duga bahwa pemakaian kata suspect untuk pasien yang dicurigai terjangkiti flu burung terjadi sebab kita menghindari penggunaan kata tersangka, tertuduh, atau terdakwa yang selama ini merupakan padanan suspect sebagai kata benda. Mengapa dihindari? Sebab, kata-kata itu setakat ini hanya dipilih apabila kita berbicara mengenai apa-apa yang erat berkaitan dengan hukum, bukan penyakit.[block:views=similarterms-block_1]
Di sisi lain kata penyangka, penuduh, atau pendakwa masing-masing bermakna "orang yang menyangka, menuduh, atau mendakwa". Adapun kata pencuriga-tepatnya pecuriga-lebih dianggap berarti "orang yang punya sifat suka mencurigai", bukan "orang yang mencurigai". Maka, pemilihan kata suspect tanpa penerjemahan tampaknya dilakukan dalam keadaan terpaksa dan terdesak karena barangkali dalam seketika kita tidak atau belum menemukan padanan yang cocok dalam bahasa Indonesia.
Flu burung termasuk sejenis penyakit. Nah, kata penyakit telanjur pula bermakna "sesuatu (berupa mikro-organisme) yang mengakibatkan sakit", bukan "orang (lain) yang menyakiti". Lalu tahu-tahu kita pernah memilih kata pesakitan yang sesungguhnya pembentukannya juga amburadul untuk memaknai orang yang menderita sakit atau menanggung hukuman badan. Mestinya kata pesakitan diapkir, kemudian kita dapat membentuk kata pesakit untuk menyebut orang yang sedang sakit.
Suspect tidak mengacu kepada orang sakit atau orang sehat, melainkan orang yang dicurigai menderita, dalam hal ini, penyakit flu burung. Terdorong oleh kebutuhan pada pengindonesiaan kata itu, maka kata tercuriga pantas diangkat memadani kata suspect.
Selama ini juga terjadi simpang-siur penggunaan kata optimis, optimistik, dan optimistis oleh penutur bahasa Indonesia. Dalam bahasa Inggris, jika bahasa ini dapat dianggap sebagai bahasa asal kata tersebut, dikenal bentuk optimist sebagai kata benda, optimistic dan/atau optimistical sebagai kata sifat. Kelas kata hasil pengalih-ejaan kata-kata itu seyogianya mengikuti kelas kata bahasa asalnya: optimis sebagai kata benda, optimistik atau optimistis sebagai kata sifat.
Buku Pedoman Umum Pembentukan Istilah jelas mengatur bahwa akhiran -ic dari bahasa asing hila dialih-eja akan menjadi -ik dalam bahasa Indonesia, sedangkan akhiran -ical dapat dialih-eja menjadi baik -ik maupun -is. Jadi, bila memakai bentuk optimistik, berarti kita melakukan alih-ejaan terhadap kata optimistic; sedangkan jika memilih bentuk optimistis, boleh jadi kita mengalihejaankan kata optimistical. Kedua bentuk alih-ejaan ini benar hanya demi kesatuan pendapat ada baiknya dimufakati satu bentuk saja.
Kata-kata optimist, optimistic, dan optimistical sesungguhnya berakar pada kata optimism, yakni paham yang diusung kali pertama oleh filsuf Jerman Gottfried Wilhelm Leibnitz (1646-1716) dan antara lain menyimpulkan bahwa dunia adalah tempat terbaik untuk dihuni manusia. Kata ini juga bisa bermakna sikap positif memandang segala persoalan terutama dari sisi baiknya. Demikianlah, maka optimist atau optimis (kata benda) berarti orang yang bersikap sesuai dengan pemahaman optimism, optimisme.
Jadi, bentuk kata sifat yang benar adalah optimistik atau optimistis. Kini barangkali kita pantas sekaligus membetulkan pula bentuk kata sadis yang selama ini sudah telanjur dikenal dan dipakai sebagai kata sifat dalam bahasa Indonesia menjadi sadistik atau sadistis. Khusus terhadap kasus ini, ada baiknya kita memilih bentuk sadistik alih-alih sadistis sebab dalam bahasa Inggris, kata sifat sadistic (yang memang harus dialih-eja menjadi sadistik) lebih lazim dipakai daripada bentuk sadistical (yang bisa diali-eja menjadi sadistis).
LIE CHARLIE Sarjana Bahasa
Sumber : Kompas, Jumat 15 September 2006, Hal 15
- 5072 reads