Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PELITAKU
Tentang Penerjemah
Fasih berbahasa asing tidak dengan sendirinya mampu menerjemahkan. Penguasaan bahasa sasaran sangat penting. Kemampuan menerjemahkan bertumpu pada pengalaman, bakat, dan pengetahuan umum: gabungan pengetahuan atau inteligensi (kognitif), rasa bahasa (emotif), dan keterampilan menggunakan bahasa (retorik).
Seorang penerjemah tidak dapat menerjemahkan naskah untuk segala bidang. Penerjemah harus menguasai pengetahuan umum, seperti tentang kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya, teknologi, dan ilmu pengetahuan. Penerjemah yang berspesialisasi, misalnya hukum, teknik, atau kedokteran, harus menguasai substansi yang diterjemahkannya.
Sering terjadi, seorang penerjemah "dipaksa" menerjemahkan teks dengan substansi apa saja. Penerjemah adalah profesi. Mempekerjakan penerjemah harus berdasarkan kriteria profesional dan tidak sekadar karena kenal atau karena kata orang saja. Bila kita belum mengenal kemampuannya, ia harus diminta menerjemahkan satu halaman untuk kita nilai kualitasnya.
Editor penerbit masih banyak yang tidak memerhatikan kualitas terjemahan, tetapi semata-mata memeriksa bahasa Indonesianya agar layak terbit dan laku jual. Dalam penerbitan terjemahan, diperlukan pemeriksa kualitas terjemahan (disebut reviser) yang menguasai bahasa sumber dan bahasa sasaran, untuk mengurangi risiko kesalahan. Penerjemahan film juga masih memprihatinkan, karena penerjemahnya diambil tanpa menggunakan kriteria profesional. Intinya, kualitas terjemahan harus diutamakan.
Penerjemah adalah profesi praktis dan nonakademis yang bertumpu pada kemampuan berpikir, rasa bahasa, dan kemampuan retorik. Peneliti dan kritikus terjemahan adalah profesi yang sifatnya akademis atau semiakademis. Mereka pengkaji dan bukan praktisi penerjemahan.
Pendidikan sarjana, magister, ataupun doktor di bidang penerjemahan, memberikan kemampuan akademis dan bukan praktis di bidang penerjemahan, kecuali jika kurikulumnya memang dirancang untuk menghasilkan penerjemah.
Kualitas penerjemah berdampak pada kualitas terjemahan. Penerjemah berkualitas buruk akan menghasilkan terjemahan yang buruk. Pertanyaannya bagaimana menanggulangi masalah ini?
- Etik. Salah satu butir kode etik Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) menyebutkan penerjemah tidak dibenarkan menerima pekerjaan penerjemahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Ini untuk menjaga kualitas.
- Peningkatan diri. Penerjemah harus selalu meningkatkan dan memperluas, serta menyegarkan pengetahuannya.
- Perguruan tinggi harus berperan sebagai tempat mengembangkan program pelatihan, di samping program pendidikan formal di jenjang pascasarjana (spesialis atau magister).
- HPI sedang membina para penerjemah dengan pendidikan nonformal untuk meningkatkan kualitas.
- Peneliti dan kritisi terjemahan harus berperan sebagai pendorong peningkatan kualitas.
- Pengembangan karier penerjemah harus mendapat dorongan dari masyarakat pengguna. Penerjemah dalam birokrasi harus diberi jabatan fungsional agar kariernya terjamin (upaya ini sedang ditangani oleh Sekretariat Negara dan Kementerian PAN).
- Perlu ada standarisasi kualitas melalui ujian kualifikasi (sejak tahun 1968 sudah dilakukan oleh Universitas Indonesia).
Itulah sketsa profesi penerjemah di Indonesia. Semoga penerjemahan yang "ngawur" seperti dikeluhkan Alfons Taryadi, bisa berkurang jumlahnya. Namun, kelihatannya kita masih harus bersabar.
Diambil dan disunting seperlunya dari: | ||
Judul buku | : | 111 Kolom Bahasa Kompas |
Penulis | : | Benny H. Hoed |
Penerbit | : | Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2006 |
Halaman | : | 271 -- 273 |