Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PELITAKU
Teenlit Sebagai Cermin Budaya Remaja Perkotaan Masa Kini
Disusun oleh: R.S. Kurnia
Kalau ditanya apa genre novel yang tengah populer pada masa kini, mungkin jawabnya adalah "teenlit", alias "teen literature". Karya fiksi ini mendapat sambutan yang luar biasa dari penggemarnya. Buktinya, karya-karya fiksi berlabel "teenlit" ini sampai dicetak berkali-kali. Sebut saja "Dealova" karya Dyan Nuranindya yang langsung ludes 10 ribu eksemplar hanya dalam tempo sebulan. Malahan, "Dealova" juga telah diangkat ke layar lebar.
Genre yang mulai merebak sekitar tahun 2000-an ini memang boleh dikatakan fenomenal. Pangsa pasarnya berkisar di lingkungan remaja putri, dapat dikatakan bersaing dengan genre yang "sedikit" lebih dewasa, "chicklit", atau "chick literature". Perkembangannya pun boleh dikata hampir beriringan. Bila "chicklit" lebih mengarah pada sosok wanita muda protagonis yang mandiri, lajang, bergaya hidup kosmopolit, dengan pelbagai problematika percintaan (Anggoro 2003), "teenlit" cenderung mengarah pada kaum remaja putri, kehidupan sekolahan, pesta "sweet seventeen", dan juga percintaan (Sulistyorini 2005).
BERAKAR DARI BARAT SUKSES DI LOKAL
Meski demikian, akar dari kedua genre ini sesungguhnya sama: sama-sama buatan Barat. "Buku Harian Bridget Jones" (terjemahan "Bridget Jones` Diary"; juga telah dilayarlebarkan) merupakan buku pertama dari genre tulisan populer ini yang muncul di Indonesia pada 2003.
Namun, ketika "teenlit" dan "chicklit" terjemahan sepertinya mulai mendominasi, para penulis lokal pun turut menggeliat. Karya-karya mereka yang sampai dicetak hingga jutaan kopi menunjukkan bahwa "teenlit" dan "chicklit" lokal pun bisa menggeser dominasi "teenlit" dan "chicklit" Barat. Sebut saja "Cintapuccino" yang dalam sebulan sudah harus dicetak tiga kali dan terjual 11.000 eksemplar sejak diluncurkan; "Dealova" sejumlah 10.000 eksemplar, juga sebulan setelah dirilis; "Fairish" yang sampai 2005 sudah terjual 29.000 eksemplar.
Fakta tersebut menggambarkan potensi yang dimiliki para penulis lokal kita tidaklah kalah dengan para penulis luar. Setidaknya, mereka berhasil meraih pasar dalam negeri.
BERMULA DARI BUKU HARIAN
Sebagai salah satu genre tulisan, "teenlit" dan "chicklit" mungkin bisa dibilang tidak terlalu rumit. Alur cerita yang mudah ditelusuri; gaya bahasa yang sangat mengena; fenomena yang diangkat terkesan sangat dekat; semua itu memungkinkan penerimaan bagi genre yang boleh disebut relatif baru dalam khazanah sastra Indonesia. Hal ini pulalah yang menjadi daya tarik bagi kalangan remaja sebagai kalangan yang paling menggemari "teenlit" dan "chicklit".
Isi cerita yang demikian bisa dimaklumi karena kebanyakan penulis genre ini ialah anak-anak remaja. "Dealova", misalnya, ditulis ketika penulisnya masih duduk di bangku SMP. Sementara "Me Versus High Heels" ditulis oleh siswi SMU. Sebagian karya ini malah diangkat dari buku harian dengan modifikasi di sana-sini demi menghasilkan rangkaian cerita yang menarik.
Tidak dapat dimungkiri, fenomena ini memberi dampak positif, setidaknya dalam dua hal. Pertama, keberhasilan para penulis muda ini bisa mendorong siapa saja untuk mulai mengikuti jejak mereka. Tidak heran bila kemudian ada lebih banyak lagi penulis untuk genre baru ini. Kedua, fakta bahwa beberapa novel berangkat dari sebuah buku harian bisa menegaskan kembali bahwa menulis tidak serumit yang dibayangkan kebanyakan orang. Semua bisa diawali dari diri sendiri.
CERMINAN BUDAYA PARA REMAJA
Pada sebuah "teenlit", remajalah yang menjadi sentralnya. Kehidupan mereka berada di seputar sekolahan, pergaulan dengan teman-teman sebaya mereka, hobi dan minat anak remaja. Dunia remaja juga dimeriahkan dengan percintaan, umumnya dengan teman-teman sebaya mereka; mulai dari menaksir seseorang dan jatuh cinta, patah hati, sampai pada kenakalan remaja.
Semua itu tercermin dalam sejumlah "teenlit". Dengan demikian, secara tidak langsung, sebuah "teenlit" bisa dianggap sebagai cermin budaya para remaja.
Lihat saja, misalnya "Looking for Alibrandi" yang menggambarkan kehidupan anak remaja. Novel yang ditulis dengan gaya penulisan buku harian ini isinya tidak jauh dari kehidupan sekolah, jatuh cinta (baca: naksir), dan pesta ulang tahun. Sementara itu, gambaran kehidupan remaja yang natural, dengan kekonyolan, kejahilan, dan keanehan lainnya bisa juga dilihat pada "Fairish".
Lalu aspek yang rasanya juga jelas terlihat ialah aspek bahasa. Gaya bahasa gaul, yang sebenarnya merupakan bahasa Indonesia dialek Jakarta turut hadir dalam novel genre ini. "Loe-gue" yang dihadirkan tidak sekadar membuat "teenlit" begitu terasa dekat dengan para remaja, tapi justru dunia remaja yang demikian itulah yang tercermin lewat "teenlit". Belum lagi cara penyajiannya yang menyerupai penulisan buku harian, lebih membangkitkan keterlibatan para pembacanya (Santoso 2005).
Sebagai cermin budaya remaja, "teenlit" juga turut menghadirkan efek positif. Kita mengakui kalau masa-masa remaja tidak sekadar masa-masa ceria belaka, tetapi juga masa-masa kritis pencarian jati diri. Santoso melihat bahwa sejumlah "teenlit" dan "chicklit" turut memberikan alternatif pencarian identitas diri, mulai yang normatif, sampai yang memberontak. Para pembaca bisa menggunakannya sebagai salah satu pertimbangan pilihan identitas diri.
GUGATAN TERHADAP "TEENLIT"
Meski fenomenal, pro-kontra terhadap genre ini tetap saja mencuat. Sebagian kalangan beranggapan bahwa karya satu ini adalah karya yang terlalu ringan. Sama sekali tidak mengangkat fenomena krusial dalam masyarakat. "Teenlit" (demikian pula dengan "chicklit") juga dianggap hanya menawarkan sisi manis kehidupan, sesuatu yang tidak bisa dianggap sebagai kondisi global masyarakat Indonesia.
Gugatan demikian pada satu sisi memang ada benarnya. Kalau kita bandingkan, misalnya dengan novel "Bunga" karya Korrie Layun Rampan, "teenlit" jelas tidak seimbang. Korrie tidak sekadar menyajikan dengan bahasa yang "taat kaidah", tapi juga indah. Isu yang diangkat juga cenderung lebih kaya dan berbobot. Hal ini menyebabkan "teenlit" tidak akan bertahan lama.
Selain itu, "teenlit" juga dianggap sebagai genre yang merusakkan bahasa. Meskipun ragam lisan menjadikan "teenlit" sangat dekat dengan pembacanya yang notabene merupakan remaja, ragam itu cenderung tidak disajikan dengan daya didik yang tinggi. Malah keberadaan bahasa Indonesia terkesan tidak terencana dan tidak terpola dengan baik. Termasuk pula keberagaman bahasa dan warna-warni percakapan yang dipandang tidak dapat dipola dan hampir tidak terkendali. Selain itu, dari segi politik bahasa nasional, novel "teenlit" dianggap tidak memedulikan bahasa Indonesia.
Dari segi isi, "teenlit" juga dituduh sebagai genre yang menganggap bahwa nilai-nilai pergaulan seperti di Barat (berciuman dengan lawan jenis, membicarakan seks, pesta-pesta) wajar-wajar saja diterapkan. Maka yang ditampilkan ialah warna-warni kehidupan yang meniru gaya Barat. Sehingga rok pendek dan baju ketat turut menjadi tren masa kini. Demikianlah kira-kira gugatan yang disampaikan lewat sebuah Debat Sastra yang diselenggarakan di Universitas Nasional, 7 September 2005 tentang "teenlit".
Gugatan ini bisa dianggap cukup berlebihan. Karena kalau kita mencermati, gaya hidup remaja sejak sebelum genre ini merebak, tidaklah berbeda jauh. Aspek bahasa mungkin tidak seheboh saat ini, namun sudah tercermin sejak lama. Demikian pula dalam hal pergaulan. Apalagi pengaruh budaya Barat sudah meresap di negeri ini sejak lama. Dengan kata lain, transisi budaya itu tidak terjadi ketika "teenlit" atau "chicklit" hadir.
"TEENLIT" MASA DEPAN
Meski dinilai miring oleh sejumlah kalangan, kehadiran "teenlit" itu sendiri memang bukannya tanpa nilai positif. Selain membakar semangat para penulis muda untuk berani berekspresi, "teenlit" terbukti mampu meramaikan dunia perbukuan di Indonesia. Terlebih lagi, dengan membanjirnya jenis bacaan yang sangat mudah dicerna ini, minat baca remaja turut meningkat. "Teenlit" juga cukup berhasil mengangkat kehidupan remaja (meski masih terbatas pada remaja perkotaan) ke permukaan, sekaligus menawarkan alternatif jati diri, sebagaimana dikemukakan Santoso di atas.
Selain itu, tidak dapat dimungkiri pula bahwa "teenlit" cukup berhasil mengangkat kehidupan remaja ke permukaan. Memang fenomena yang diangkat masih berupa kehidupan remaja perkotaan.
Hanya saja, sebuah tulisan yang cenderung bersifat menghibur umumnya tidak akan bertahan lama. Apalagi bila tidak memiliki nilai yang dalam. Tidak heran apabila genre "teenlit" suatu waktu akan tergerus oleh waktu dan tergantikan dengan genre tulisan yang lain. Oleh karena itu, "teenlit" masih harus bertransformasi untuk mempertahankan keberadaannya. Mungkin sudah saatnya untuk menghadirkan aspek-aspek lain, misalnya substansi pergeseran budaya masyarakat agraris ke urban.
Daftar Bacaan:
Anggoro, Donny. 2003. "Chicklit" Buku Laris Penulis Manis, dalam "Matabaca", Vol. 2 No. 1 September 2003.
Kusmarwanti. 2005. "Teenlit" dan Budaya Menulis di Kalangan Remaja, "Menuju Budaya Menulis: Sebuah Bunga Rampai", Ed. Pangesti Wieadarti. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Santoso, Satmoko Budi. 2005. "Chicklit" dan "Teenlit": Relativitas Paradigma Kualitatif, dalam "Matabaca", Volume 3 No. 8 April 2005.
Sulistyorini, Endah. 2005. Berbagi Cerita dari Membaca "Teenlit", dalam "Matabaca", Volume 3 No. 8 April 2005.
Tasai, S. Amran. 2006. Teenlit, Masalah Baru Pernovelan Indonesia, dalam Republika Online, Minggu, 12 Maret 2006, http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=239147&kat_id=364.
- 11931 reads