Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PELITAKU
Salah Kaprah
Celakanya, salah kaprah itu disebarkan setiap hari oleh para pejabat, koran, majalah/tabloid, radio, dan televisi.
Seorang editor penerbit menyatakan kebenarannya di sebuah milis bahasa perihal kata "bergeming". Pada mulanya, editor itu mengira "bergeming" bermakna "bergerak" dan "tak bergeming" bermakna "tak bergerak". Ketika si editor membuka kamus, kagetlah dia. Menurut kamus, bergeming berarti "tak bergerak; diam saja". Sementara itu, kata si editor, ada penulis yang bersikeras agar bentuk "tak bergeming" dibiarkan saja karena sudah lazim. Si editor kemudian bertanya, apakah salah kaprah semacam itu dibiarkan atau dikoreksi?
Kata "bergeming" hanyalah salah satu dari sekian banyak salah kaprah yang sering terjadi. Ada salah kaprah lain dalam bahasa Indonesia: menyangkut kata, gabungan kata, klausa, dan kalimat.
Menjelang tanggal 17 Agustus, jalan-jalan dan gang-gang penuh dengan salah kaprah tahunan: "Dirgahayu ke-... Republik Indonesia" atau "Dirgahayu Republik Indonesia ke-.... Itu sudah berlangsung dari tahun ke tahun dan masih akan berulang tahun depan.
Kata yang juga tinggi frekuensi pemakaiannya adalah "merubah". Banyak orang yang keliru dengan kata ini. Yang dimaksud orang itu sesungguhnya "mengubah", namun yang tertulis atau terucapkan adalah "merubah". "Merubah" berarti "menjadi rubah". Rubah adalah sejenis hewan. Jadi, "merubah" berarti "menjadi hewan".
Barangkali orang rancu dengan bentuk lain yang memang baku: "perubahan" dan "berubah". Kalau ada "perubahan" dan "berubah", tentulah ada pula bentuk "merubah". Mungkin begitu jalan pikiran orang itu. Sayangnya, orang itu lupa bahwa kata dasar "perubahan" dan "berubah" adalah "ubah", sedangkan kata dasar "merubah" adalah "rubah".
Ini contoh tiga salah kaprah yang meminjam kata-kata Anton M. Moeliono -- "sulit diperbaiki". Salah kaprah ini masih kita perpanjang dengan "sesuai keputusan", "namun demikian", "memenangkan pertandingan", "pembangunan daripada manusia seutuhnya", "berita terkini", "waktu dan tempat kami persilakan", "selamat datang di Jakarta", dan lain-lain.
Celakanya, salah kaprah itu disebarkan setiap hari oleh para pejabat, koran, majalah/tabloid, radio, dan televisi.
Dari manakah salah kaprah itu bermula? Sumbernya bermacam-macam. Ada yang dikenalkan pejabat (pembangunan daripada manusia seutuhnya). Ada yang dilestarikan televisi (berita terkini). Ada yang disebarkan media cetak (memenangkan pertandingan). Ada yang berasal dari kebiasaan (waktu kami persilakan; Dirgahayu ke-... Republik Indonesia). Tentu ada pula yang muncul karena kekurangtahuan makna kata, gabungan kata, klausa, dan kalimat yang dituliskan/diucapkan.
Kalau dirunut, semua itu sumbernya hanya satu, yaitu kekurangcermatan berbahasa. Kekurangcermatan itu, antara lain disebabkan kemalasan membuka kamus. Kemalasan membuka kamus kemungkinan besar karena orang tidak memiliki kamus (di rumah atau pun di tempat bekerja).
Tugas siapakah mengoreksi salah kaprah di atas? Tentu tugas kita semua. Bukan hanya tugas Pusat Bahasa, melainkan tugas ahli bahasa, wartawan, redaktur koran/majalah, editor penerbit, pengarang, penyiar/reporter televisi, guru, dan dosen.
Sedikitnya, ada dua cara untuk menghindari salah kaprah. Pertama, kalau kita tidak tahu persis arti kata yang akan kita gunakan, sebaiknya kata itu tidak kita gunakan. Gunakan saja kata lain atau sinonimnya.
Kedua, kalau kita bimbang mengenai makna kata tertentu, sebaiknya kita jangan sungkan membuka kamus atau bertanya kepada orang yang lebih tahu. Malu bertanya, salah kaprah pun terjadi!
Diambil dan disunting dari:
Judul majalah | : | Matabaca, Vol. 4, No. 2 Oktober 2005 |
Judul artikel | : | Salah Kaprah |
Penulis | : | Pamusuk Eneste |
Halaman | : | 35 |
- 4068 reads