Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PELITAKU
Nasib Kata
Dalam dunia kehidupan, spesies-spesies dan variannya lahir dan mati menurut kemampuan mereka bertahan dalam lingkungan yang terus berubah. Setiap jenis makhluk hidup harus berjuang sangat keras mempertahankan keberadaannya. Memang ada sebagian kecil yang karena sudah sangat adaptif sehingga tidak perlu berubah untuk waktu yang lama (spesies ikan hiu bertahan tanpa banyak perubahan selama ratusan juta tahun), tetapi sebagian besar spesies harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya atau akan mati.
Dalam bahasa yang hidup, kata-kata lahir dan mati seiring dengan perkembangan dunia pemakaiannya. Kata-kata harus "berjuang" keras dalam persaingan yang tak mengenal belas kasihan untuk bertahan hidup. Ada yang beruntung bisa bertahan cukup lama tanpa banyak mengalami tantangan, tetapi sebagian besar terus-menerus menghadapi saingan dan ancaman, baik dari serbuan kata asing maupun dari perubahan pesat yang muncul dalam kehidupan pemakainya sendiri. Ada kata yang berhasil hidup megah terkenal di mana-mana, namun ada pula yang terlupakan dan hidup merana di sudut pikiran para ahli bahasa dan di dalam kamus-kamus tebal debu.
Salah satu strategi yang cukup efektif bagi kata yang "ingin" terus hidup adalah dengan mencaplok ladang kata-kata lain. Suatu kata akan tambah makmur dan berjaya dengan menambah makna yang dimilikinya, sama seperti primata (bangsa mamalia yang meliputi kera, monyet, dan juga manusia, Red) yang mau makan apa saja, yang lebih berhasil menguasai bumi daripada panda yang bersedia makan bambu, atau seperti seorang pekerja yang rajin menambah keahliannya akan lebih mampu bertahan di bursa kerja daripada yang hanya memunyai semacam kemampuan.
Kata "nyaris", misalnya, dengan garang mengambil lahan hampir, sampai-sampai kata yang belakangan ini nyaris punah dari bahasa media massa. Dahulu "nyaris" hanya dipakai kalau ada kesan lolos dari bahaya atau sesuatu yang tidak diinginkan: nyaris celaka, nyaris gagal, nyaris tertabrak, nyaris mati, nyaris kawin. Namun, sekarang dengan entengnya koran berkisah tentang olahragawan yang nyaris juara.
Kalau "nyaris" cuma menyambar lahan saudara dekatnya, kata "kalau" lebih sewenang-wenang lagi sudah keluar dari lahan tradisionalnya dan menambah ke wilayah tetangganya: "bahwa". Dalam arti ini, kata "kalau" merajalela di dunia percakapan televisi dan radio: "Dia bilang kalau kau sekarang sudah jadi dukun jarak jauh."
Tidak semua kata berusaha menambah makna supaya tetap terpakai. Ada yang justru melunturkan makna aslinya yang berbobot dan menjadi populer lewat maknanya yang dangkal. "Jati diri" pertama kali diperkenalkan sastrawan Y.B. Mangunwijaya dan dalam semalam saja menjadi sangat terkenal dan laris di mana-mana. Dalam semalam pula kata yang sarat makna, sebagai persamaan "Innerlichkeit" atau "inner self", kehilangan jati dirinya dan sekadar menjadi persamaan kata "identitas". Bahkan ada yang memakainya sebagai pengganti "kartu identitas". Kalau bukan karena perubahan ini, pastilah "jati diri" sudah lama mati.
Agaknya salah satu syarat bagi suatu kata yang sarat makna untuk menjadi populer adalah dengan mengurangi bobot filosofis atau intelektualnya. Tapi, ini bukan cuma fenomena di Indonesia saja, kata "fenomena" sendiri (atau fenomenon bagi yang cerewet) masuk dalam bahasa Indonesia sudah dalam artinya yang dangkal, jauh dari pengertian yang direnungkan sang mahafilsuf Immanuel Kant. Dan kemudian di sini diperencer lagi sehingga muncul frasa "fenomena yang tampak", seolah-olah ada fenomena yang tidak tampak.
Ada pula kata yang makna aslinya sudah terlupakan tapi tetap populer dengan mengambil makna lain yang sama sekali tidak berkaitan dengan makna aslinya itu. Kata "nuansa" yang sudah sering dikritik itu salah satu contohnya. Orang yang memahami bahwa kata yang diserap dari bahasa Inggris itu berarti "perbedaan halus" atau "perbedaan kecil" justru tidak akan memakainya karena takut tidak dimengerti atau di salah-mengerti. Pemakainya yang bersemangat dengan salah kaprah mengira kata itu berarti "suasana". Entah di mana kaitan keduanya; mungkin hanya karena huruf pembentuknya mirip. Seperti kata "seronok" yang semula berarti "indah menawan, sedap dilihat" entah bagaimana tiba-tiba dengan menggebu dipakai dalam arti "tidak senonoh", "tidak sopan". Sama-sama "se_ono_".
Diambil dari: | ||
Judul buku | : | 111 Kolom Bahasa Kompas |
Penulis | : | Samsudin Berlian |
Penerbit | : | Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006 |
Halaman | : | 28 -- 30 |