Bahan Belajar Kristen Online dapatkan di:live.sabda.org

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PELITAKU

Ketika Makanan Menyebabkan Penyembahan Berhala

"Anda adalah apa yang Anda makan." Rupanya pepatah ini diciptakan oleh filsuf Jerman Ludwig Feuerbach, yang bermaksud menegaskan bahwa manusia adalah makhluk material dan tidak lebih dari itu. Kita terdiri dari hal-hal yang setara dengan yang kita masukkan ke dalam diri kita sendiri.

Lalu ada pelesetan arti dari "pecinta kuliner" untuk frasa ini, "Anda adalah apa yang Anda makan." Apa yang Anda makan (dan juga di mana dan bagaimana) membuktikan tinggi atau bagus tidaknya selera seseorang. Seorang kritikus makanan menyindir, "Hidangan yang belum diperiksa tidak layak untuk dimakan." Persiapan dan proses memakan suatu hidangan memiliki potensi transformatif, baik secara psikologis maupun sosial. Menurut sebuah artikel di New York Magazine, "Kuliner sekarang dipandang sebagai pilihan hobi yang diakui, topik diskusi tanpa akhir, area untuk dipertandingkan, dan alat pengukur hal yang keren. 'Ini adalah sebuah lencana kehormatan,' kata seorang anak muda: 'Hak menyombongkan diri'" (25 Maret 2012).

Orang Kristen dapat menikmati segala jenis makanan sebagai pemberian Allah (Kej. 9:3; 1Tim. 4:4). Demikianlah nasihat pengkhotbah yang bijak: "Tidak ada yang lebih baik bagi manusia daripada makan, minum, dan jiwanya memandang kebaikan dari kerja kerasnya. Aku pun melihat bahwa ini berasal dari tangan Allah" (Pkh. 2:24, AYT). Namun pada saat yang sama, orang percaya diingatkan bahwa "Kerajaan Allah bukanlah tentang makanan dan minuman, melainkan tentang kebenaran, damai sejahtera, dan sukacita dalam Roh Kudus" (Rm. 14:17, AYT).

Apa perbedaan antara apresiasi yang ilahi terhadap makanan dan foodie-ism (minat terhadap bermacam-macam makanan dari berbagai budaya - Red.), atau kerakusan? Sebagai salah satu bentuk penyembahan berhala, kerakusan memberi nilai transformatif pada hal yang secara inheren tidak memilikinya. Apakah Anda mengharapkan apa yang ada di atas meja di depan Anda bisa mengubah dan memperbarui sifat batin Anda? Dengan demikian, apa yang dikonsumsi dapat menjadi fokus utama seseorang. Apakah Anda melayani selera indra pengecap Anda dan berusaha memuaskan perut Anda dengan segala cara? Petrus menulis, "Apa pun yang telah menaklukkan seseorang, kepadanyalah orang itu diperbudak" (2Ptr. 2:19, AYT). Agustinus mengamati, "Ada kemungkinan bahwa orang bijak dapat menggunakan makanan terlezat tanpa dosa epikureanisme atau kerakusan, sementara orang bodoh akan mendambakan makanan paling keji dengan nafsu makan yang paling menjijikkan."

Saat kita membaca catatan Kitab Injil, kita menemukan kemiripan yang luar biasa antara foodie-ism dan orang Farisi. Orang-orang Farisi secara konsisten mengkritik Yesus dan murid-murid-Nya mengenai makanan dan hal-hal terkait -- dengan penuh curiga mengamati apa yang Tuhan dan para pengikut-Nya makan, bagaimana mereka memakannya, dan dengan siapa mereka makan. Anggapan yang sama dari pecinta kuliner dan orang Farisi adalah bahwa "mengisi diri kita dengan makanan 'bersih' akan membuat kita menjadi orang yang 'bersih'." Jika kita memasukkan ke dalam diri kita apa yang baik dan murni, maka kita akan menghasilkan apa yang baik dan murni. Semudah dan sesederhana itu.

Tuhan kita Yesus membahas ideologi implisit ini dalam Markus 7. Dia menyatakan, "Tidak ada apa pun dari luar manusia yang jika masuk ke dalam dirinya dapat menajiskannya, tetapi hal-hal yang keluar dari manusialah yang menajiskannya" (Mrk. 7:15, AYT). Alasannya? "Karena makanan tidak masuk ke dalam hati manusia tetapi ke perutnya dan kemudian dikeluarkan." Ada permainan kata-kata dalam bahasa Yunani di sini: apa yang Anda makan tidak masuk ke hati Anda (kardia) tetapi ke perut Anda (koilia). Makanan (entah "bersih" atau "najis") tidak menuju ke pusat dan inti keberadaan Anda, tetapi ke sistem pencernaan Anda. Kebanyakan terjemahan bahasa Inggris berusaha untuk mengungkapkan dengan lebih "halus" daripada apa yang sebenarnya Yesus katakan, yaitu bahwa apa yang Anda makan akan berakhir di perut Anda dan akhirnya dikeluarkan.

Yesus kemudian menempatkan sumber kenajisan bukan pada apa yang ada di luar diri kita (termasuk daging dan minuman), tetapi di sumber mata air hati kita: "Dari dalam, dari hati manusia, muncul pikiran-pikiran jahat, dosa-dosa seksual, pencurian, pembunuhan. ... Semua yang jahat ini datang dari dalam, dan itulah yang menajiskan manusia" (Mrk. 7:21, 23, AYT). Apa yang menajiskan dan merusak kita bukanlah pada makanan tertentu tetapi ada dalam bagian vital kita! Tuhan kita kemudian memfokuskan pada apa yang benar-benar penuh dengan kontaminan dan racun: kerangka kedagingan dan sifat batin kita, yang dikandung dan dilahirkan dalam dosa (Mzm. 51:5).

Penulis Rusia Aleksandr Solzhenitsyn dengan analisis tajam menulis, "Sedikit demi sedikit saya jadi tahu bahwa garis yang memisahkan hal yang baik dan yang jahat bukanlah garis batas negara, atau antar kelas sosial, atau juga antara partai politik, tetapi menembus setiap hati manusia, dan melalui semua hati manusia."

Saat kita memberitakan Injil dalam konteks sosial yang penuh dengan foodie-ism, di mana "koki selebriti adalah guru zaman ini" dan banyak orang mencurahkan perhatian yang terlalu obsesif pada apa yang dimakan, jadi apa yang dapat kita ambil dari ajaran Tuhan dalam teks ini?

Pertama, sekarang ada kebebasan untuk makan segala macam makanan, karena dalam ajaran ini juga dimasukkan pengamatan Markus yang diilhami bahwa Yesus "menyatakan semua makanan halal" (Mrk. 7:19). Orang Kristen harus berhati-hati dalam memberikan makna rohani pada satu jenis makanan di atas makanan yang lain, dan untuk menghindari saran konyol apa pun bahwa Alkitab mengatur diet khusus untuk setiap pribadi orang percaya. Kita tidak perlu terlalu rewel tentang apa yang kita pilih untuk dimakan atau bagaimana kita menilai pilihan makanan saudara-saudari kita (Rm. 14).

Apa yang menajiskan dan merusak kita bukanlah pada makanan tertentu tetapi ada dalam bagian vital kita!


Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Kedua, jika kita tidak perlu merasa bersalah tentang makanan yang dikonsumsi, maka pemulihan dari rasa bersalah juga tidak perlu dicari dalam makanan. "Makanan tidak akan mendekatkan kita kepada Allah. Kita juga tidak akan lebih buruk jika tidak makan, atau tidak juga lebih baik jika kita makan" (1Kor. 8:8, AYT). Semua makanan memiliki tanggal kedaluwarsa, dan Tuhan kita memerintahkan kita "jangan bekerja untuk mencari makanan yang dapat binasa, melainkan untuk makanan yang dapat bertahan sampai hidup yang kekal" (Yoh. 6:27, AYT). Adakah makanan yang bertahan lama selain Firman Allah? Melalui Firman inilah kita mengalami katarsis batin yang sejati, pemurnian yang pasti: "Kamu memang sudah dibersihkan karena firman yang telah Kukatakan kepadamu" (Yoh. 15:3, AYT). Penulis Ibrani menasihati gereja: "Adalah hal yang baik bahwa hati dikuatkan oleh anugerah, bukan oleh aturan tentang makanan yang tidak memberi manfaat bagi mereka yang menjalaninya" (Ibr. 13:9, AYT). Inilah susu untuk diminum dan daging untuk dimakan yang "memperbaiki tubuh gereja."

Ketiga, ketika gereja berkumpul secara teratur untuk merayakan Perjamuan Tuhan, kita bersukacita dalam mengambil bagian dari makanan yang diberikan untuk menandakan dan memeteraikan penyatuan kita dengan Juru Selamat kita dan dengan satu sama lain sebagai saudara dan saudari dalam keluarga tebusan Allah. Dengan kata lain, ini adalah sebuah penangkal terhadap elitisme dan keunggulan foodie-ism dan orang Farisi, karena di meja ini semua memiliki status yang sama sebagai orang-orang kudus di dalam Kristus, dan tidak ada perbedaan (1Kor. 12:13). Dengan makan roti dan minum cawan, semua jemaat bersama-sama terlibat dalam pewartaan Injil (1Kor. 11:26), dengan demikian meniadakan semua hak menyombongkan diri dalam diri kita sendiri dan "membenci semua kesombongan [kita]."

(t/Jing-Jing)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : Tabletalk Magazine
Alamat situs : https://tabletalkmagazine.com/posts/when-food-leads-to-idolatry
Judul asli artikel : When Food Leads to Idolatry
Penulis artikel : Ken Montgomery

Komentar